Infonew | Sukabumi
Pamekasan yang dikenal sebagai kota religius dan berbudaya kini tengah dihadapkan pada fenomena sosial yang mencoreng citra daerah: maraknya gank motor, balap liar, hingga berujung pada tawuran dan pembunuhan. Fenomena ini bukan lagi sekadar kenakalan remaja biasa, tetapi sudah menjadi penyakit sosial yang mengancam keamanan dan moralitas masyarakat. Ironisnya, semua ini terjadi di tengah slogan-slogan besar tentang “Pamekasan Hebat”, “Kota Religius”, dan “Kabupaten Sejuta Santri”.
Belakangan, media sosial dan pemberitaan lokal ramai oleh peristiwa bentrok antar kelompok pemuda yang menamakan diri “gank motor”. Awalnya hanya sekadar saling ejek, lalu berubah menjadi ajang adu nyali di jalanan, dan kini meningkat menjadi aksi kekerasan bahkan pembunuhan. Jalanan yang seharusnya menjadi sarana publik berubah menjadi arena adu gengsi dan emosi. Ini jelas sinyal bahaya yang tidak boleh dianggap sepele.
Fenomena ini menunjukkan bahwa di balik wajah religius Pamekasan, ada persoalan serius dalam pembinaan moral dan sosial generasi muda. Banyak remaja kehilangan arah karena kurangnya pengawasan, minimnya wadah ekspresi, dan lemahnya peran keluarga serta lingkungan. Mereka mencari identitas melalui jalan pintas: menjadi bagian dari kelompok yang dianggap keren, berani, dan ditakuti. Padahal, yang mereka bangun bukanlah solidaritas, melainkan kebiasaan destruktif yang menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat.
Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum tentu tidak boleh hanya berdiam diri. Penindakan tegas memang penting, namun itu bukan satu-satunya solusi. Penegakan hukum tanpa disertai pendekatan sosial, pendidikan, dan pembinaan hanya akan mematikan api di permukaan tanpa memadamkan bara di dalamnya. Butuh sinergi lintas sektor: polisi, tokoh agama, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil untuk membangun kesadaran bersama bahwa perilaku brutal di jalanan bukanlah simbol keberanian, melainkan kebodohan dan kehancuran masa depan.
Sekolah dan pesantren sebagai benteng pendidikan moral juga harus turun tangan. Pendidikan karakter perlu diperkuat, bukan hanya lewat ceramah, tetapi juga melalui kegiatan positif yang memberi ruang bagi remaja menyalurkan energi dan kreativitasnya secara sehat. Di sisi lain, pemerintah harus menciptakan sarana dan event yang menampung hobi anak muda, seperti balap resmi di sirkuit, festival otomotif, atau kompetisi yang mendidik. Jika energi anak muda dibiarkan tanpa arah, maka jalanan akan menjadi panggung utama mereka.
Keluarga pun memegang peran paling vital. Banyak kasus kriminalitas remaja berawal dari kurangnya perhatian di rumah. Orang tua yang sibuk bekerja atau acuh terhadap pergaulan anak sering kali baru tersadar setelah musibah terjadi. Karena itu, komunikasi dalam keluarga harus dihidupkan kembali. Anak tidak hanya butuh uang saku, tapi juga butuh teladan, kasih sayang, dan bimbingan.
Fenomena gank motor dan balap liar di Pamekasan sejatinya adalah alarm keras bahwa nilai-nilai sosial dan religius mulai tergerus. Jika tidak segera ditangani dengan serius dan berkelanjutan, bukan tidak mungkin Pamekasan akan kehilangan jati dirinya sebagai kota yang damai, beretika, dan berbudaya. Tawuran dan pembunuhan yang terjadi hanyalah puncak gunung es dari krisis moral dan sosial yang lebih dalam.
Sudah saatnya seluruh elemen masyarakat bergerak bersama. Tidak ada gunanya saling menyalahkan jika generasi muda terus dibiarkan tersesat di jalan yang salah. Mari jadikan tragedi ini sebagai momentum refleksi: apakah kita masih benar-benar menjaga warisan nilai, atau justru membiarkan Pamekasan perlahan kehilangan arah?
Jika Pamekasan ingin tetap dikenal sebagai kota santri yang bermartabat, maka penegakan nilai dan disiplin sosial harus dimulai dari sekarang. Karena masa depan daerah ini bukan ditentukan oleh seberapa banyak motor berknalpot bising yang melintas di malam hari, tapi oleh seberapa besar kepedulian kita membimbing anak muda agar tidak tersesat dalam gelapnya jalanan.
Bupati Pamekasan Harus Tegas Atasi Geng Motor dan Balap Liar
Sebagai pemimpin daerah, Bupati Pamekasan harus bersikap tegas dan cepat. Tidak cukup hanya dengan imbauan moral atau seruan damai. Diperlukan kebijakan konkret dan aturan yang kuat untuk menertibkan fenomena ini. Jika tidak, maka slogan “Gerbang Salam” hanya akan menjadi tulisan tanpa makna di papan nama kota, sementara di jalanan, generasi muda terjerumus dalam kekerasan, kebut-kebutan, dan aksi brutal yang mengancam nyawa.
Fenomena geng motor dan balap liar adalah cermin dari krisis moral, lemahnya pengawasan sosial, dan longgarnya penerapan hukum. Banyak remaja yang mencari jati diri di jalanan karena merasa tidak memiliki wadah positif untuk menyalurkan energi dan keberaniannya. Mereka tergoda oleh gaya hidup instan, adu gengsi, dan pengaruh media sosial. Akibatnya, jalan raya di malam hari berubah menjadi lintasan maut, dan setiap pertemuan antar kelompok bisa berujung bentrok berdarah.
Di sinilah peran Bupati menjadi sangat penting. Sebagai kepala daerah, beliau tidak boleh membiarkan aparat bekerja sendiri tanpa payung kebijakan yang jelas. Pamekasan perlu Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Bupati (Perbup) yang secara tegas mengatur tentang larangan balap liar, sanksi terhadap geng motor, serta mekanisme pembinaan bagi pelaku remaja. Selain itu, perlu dibangun sinergi lintas sektor antara pemerintah daerah, kepolisian, tokoh agama, dan lembaga pendidikan untuk melakukan langkah preventif dan edukatif.
Langkah tegas Bupati juga harus disertai program pembinaan generasi muda. Tidak semua anggota geng motor adalah pelaku kriminal murni, banyak di antara mereka yang sebenarnya hanya butuh arah dan perhatian. Pemerintah bisa menyiapkan wadah alternatif seperti sirkuit resmi untuk balapan, klub otomotif yang terorganisir, kegiatan seni dan olahraga, hingga pelatihan keterampilan. Jika anak muda diberi ruang positif, mereka tak akan mencari eksistensi lewat kekerasan.
Selain itu, Bupati perlu menegaskan koordinasi yang kuat dengan Kapolres, Satpol PP, dan Dinas Perhubungan. Penertiban jalanan harus dilakukan secara rutin dan berkelanjutan, bukan hanya ketika sudah terjadi korban jiwa. Pemerintah harus menunjukkan kehadirannya agar masyarakat merasa terlindungi. Ketegasan aparat dan kebijakan pemerintah akan menjadi sinyal kuat bahwa Pamekasan tidak mentolerir kekacauan dan kekerasan dalam bentuk apa pun.
Lebih jauh, masalah ini juga harus dilihat dari sisi pembinaan moral dan nilai keagamaan. Pamekasan sebagai Kota Santri seharusnya menjadikan nilai-nilai Islam sebagai fondasi pembentukan karakter masyarakat, terutama generasi muda. Ulama, guru ngaji, dan tokoh pesantren dapat dilibatkan dalam kampanye moral untuk mengingatkan bahwa keberanian sejati bukan diukur dari suara knalpot atau kecepatan motor, melainkan dari kemampuan menahan diri dan menjaga kemaslahatan sesama.
Kini, wajah Pamekasan sedang dipertaruhkan. Jika tawuran dan balap liar terus dibiarkan, maka label “Gerbang Salam” hanya akan menjadi simbol kosong tanpa jiwa. Bupati Pamekasan harus menunjukkan kepemimpinan yang tegas, berani, dan berorientasi pada solusi jangka panjang. Rakyat menunggu tindakan nyata, bukan sekadar rapat atau seremonial.
Sudah waktunya pemerintah turun langsung ke akar persoalan, menegakkan aturan, dan merangkul masyarakat. Karena menjaga ketertiban bukan hanya tugas polisi, melainkan tanggung jawab moral seluruh pemimpin. Dan pemimpin sejati adalah mereka yang berani mengambil sikap tegas demi keselamatan rakyatnya.
Gerbang Salam harus kembali menjadi lambang kedamaian, bukan medan pertikaian.
Kapolres Harus Tegas Tangani Geng Motor dan Balap Liar
Situasi keamanan di Kabupaten Pamekasan kini sedang diuji. Kejadian tawuran dan pembunuhan yang berawal dari aksi geng motor dan balap liar menjadi tamparan keras bagi masyarakat dan aparat penegak hukum. Jalanan yang seharusnya menjadi sarana publik kini berubah menjadi arena kekacauan. Ini bukan lagi sekadar pelanggaran lalu lintas, melainkan ancaman nyata terhadap ketertiban dan keselamatan warga. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat menaruh harapan besar kepada Kapolres Pamekasan untuk bertindak tegas, cepat, dan tanpa pandang bulu.
Fenomena geng motor dan balap liar sejatinya bukan hal baru. Namun, yang mengkhawatirkan adalah meningkatnya keberanian para pelaku, bahkan sampai berani melakukan aksi kekerasan hingga menimbulkan korban jiwa. Mereka bergerak di malam hari, membuat resah warga, dan sering kali menantang aparat. Ini menunjukkan bahwa penegakan hukum selama ini masih belum cukup memberikan efek jera. Oleh karena itu, sikap tegas dari Kapolres dan jajarannya sangat dibutuhkan untuk mengembalikan wibawa hukum di Pamekasan.
Penindakan tidak bisa setengah hati. Setiap pelaku yang terlibat dalam geng motor dan balap liar harus diproses hukum secara terbuka dan adil. Tidak ada kompromi bagi mereka yang mengganggu ketertiban umum, apalagi jika tindakannya menyebabkan hilangnya nyawa orang lain. Ketegasan Kapolres dalam menegakkan hukum akan menjadi sinyal kuat bagi masyarakat bahwa negara hadir dan tidak membiarkan kekerasan menjadi budaya baru di Pamekasan.
Namun, penegakan hukum bukan hanya soal menangkap pelaku. Kapolres juga harus memimpin gerakan pencegahan yang sistematis, melibatkan berbagai pihak mulai dari tokoh agama, tokoh masyarakat, sekolah, hingga pemerintah daerah. Akar masalah geng motor dan balap liar sering kali berawal dari kurangnya pembinaan, rendahnya kontrol sosial, serta lemahnya pengawasan terhadap generasi muda. Maka, selain tindakan represif, perlu pula pendekatan edukatif dan preventif agar masalah ini tidak terus berulang.
Kapolres Pamekasan juga perlu memperkuat patroli di titik-titik rawan dan jam-jam tertentu, terutama di kawasan yang sering dijadikan lokasi balap liar. Teknologi seperti CCTV dan sistem pengawasan digital bisa dimaksimalkan untuk memantau pergerakan kelompok yang dicurigai. Tidak kalah penting, kerja sama dengan masyarakat menjadi kunci utama. Polisi tidak bisa bekerja sendiri tanpa dukungan informasi dari warga yang mengetahui aktivitas mencurigakan di lingkungannya.
Selain itu, perlu ada langkah humanis dengan memberikan wadah bagi para pemuda untuk menyalurkan minatnya secara positif. Balap resmi, kegiatan otomotif, atau event kreatif bisa dijadikan alternatif agar semangat anak muda tidak tersalurkan lewat kekerasan. Polisi bersama pemerintah daerah dapat berkolaborasi menciptakan ruang-ruang aman dan produktif bagi mereka yang memiliki minat di dunia otomotif.
Tegas bukan berarti keras tanpa arah. Tegas berarti berani menegakkan hukum dengan adil, berani melindungi yang benar, dan tidak takut mengambil risiko demi keamanan masyarakat. Pamekasan membutuhkan sosok Kapolres yang tidak hanya bekerja di atas meja, tetapi hadir di lapangan, mendengar keluhan warga, dan bertindak cepat sebelum masalah menjadi bencana sosial.
Tawuran dan pembunuhan yang terjadi akibat geng motor dan balap liar adalah alarm keras bagi semua pihak, terutama aparat keamanan. Jika tidak segera ditangani dengan serius, maka Pamekasan akan kehilangan rasa aman dan kepercayaannya kepada penegak hukum. Oleh karena itu, langkah tegas dan nyata Kapolres Pamekasan menjadi harapan sekaligus keharusan.
Sudah waktunya polisi menunjukkan ketegasan dan profesionalismenya. Masyarakat tidak butuh janji, mereka butuh tindakan. Karena keamanan bukan sekadar slogan, tetapi tanggung jawab bersama dan Kapolres adalah garda terdepan dalam memastikan bahwa Pamekasan kembali menjadi kota yang aman, damai, dan bermartabat.
Divisi Pemantau Kebijakan Publik Komunitas Jurnalis Jawa Timur (KJJT) Pamekasan(Alex)


