HUT Pamekasan ke 495 Seharusnya di Makam Ronggosukowati: Mengenalkan Tempat Bersejarah

Advertisement

HUT Pamekasan ke 495 Seharusnya di Makam Ronggosukowati: Mengenalkan Tempat Bersejarah

LKI CHANNEL
Kamis, 06 November 2025

Infonew| Sukabumi


Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-495 Kabupaten Pamekasan semestinya menjadi momentum yang tidak hanya bersifat seremonial, tetapi juga sarat makna dan nilai sejarah. Namun, setiap tahun perayaan ini kerap terjebak dalam pola yang monoton: upacara di depan pendopo ronggisukowati, pesta rakyat, pawai budaya, dan hiburan semalam di Madura lokasinya di alun-alun arek lancor. Di tengah kemeriahan itu, esensi historis Mekkasen sering kali terlupakan, terutama penghormatan terhadap tokoh besar yang telah meletakkan dasar berdirinya Kota Pendidikan: Raja Ronggosukowati.

Padahal, Pamekasan dikenal dengan semboyannya sebagai “Gerbang Salam”, sebuah daerah religius dengan budaya yang kuat dan masyarakat yang berpegang pada nilai-nilai moral. Namun di balik semangat religiusitas itu, ada satu hal penting yang kini mulai memudar dari kesadaran kolektif masyarakat, tentang nilai-nilai sejarah lokal. Di tengah derasnya arus modernisasi dan perkembangan teknologi, sejarah Pamekasan seolah hanya menjadi catatan di buku teks sekolah, bukan lagi bagian hidup dari keseharian warganya. Padahal, sejarah bukan sekadar masa lalu; ia adalah cermin untuk menatap masa depan.


Namun di balik kemeriahan seremonial yang sering dipusatkan di alun-alun atau gedung pemerintahan, terselip sebuah gagasan mendalam yang layak dipertimbangkan: mengapa tidak memusatkan peringatan hari jadi Pamekasan di Makam Ronggosukowati, makam para pejuang, dan Makam Para Pahlawan, seperti Makam Pujuk Rabeh, Batu Ampar, Makam Pujuk Lenduh atau makam Pujuk Abdul Qidam, Ada Makam damarwulan, joko taruf, dan lainnya, itu semua sebagai sosok pahlawan dan pendiri serta peletak dasar peradaban Mekkasen tempo dulu?.


Makam Ronggosukowati dan Astah Pahlawan bukan sekadar situs sejarah, melainkan simbol kebesaran dan jati diri Pamekasan yang dulunya di kenal dengan (Gerbang Salam, Pamekasan berteman, Pamekasan Kota Pendidikan, Pamekasan Kota Santri, dan Pamekasan Hebat). Di tempat inilah jejak perjuangan dan kebijaksanaan seorang pemimpin Madura yang dihormati tercatat. Namun ironisnya, lokasi yang seharusnya menjadi pusat perenungan dan edukasi sejarah itu justru jarang disentuh dalam momentum besar seperti HUT Pamekasan. Padahal, merayakan ulang tahun kabupaten di tempat yang memiliki nilai sejarah tinggi akan memberikan makna yang jauh lebih dalam dibandingkan perayaan yang hanya bersifat seremonial di tengah kota.


Jika HUT ke-495 ini dilaksanakan di kompleks Makam Pahlawan atau Pujuk Bagandan itu bukan hanya bentuk penghormatan terhadap leluhur, tetapi juga sarana mengenalkan kembali sejarah daerah kepada masyarakat, terutama generasi muda. Mereka akan belajar langsung bahwa Pamekasan bukan hanya nama administratif, melainkan warisan perjuangan dan kebudayaan yang panjang.


Pelaksanaan HUT di tempat bersejarah juga akan membawa pesan simbolik: bahwa pembangunan modern harus tetap berpijak pada akar sejarah dan budaya lokal. Pemerintah daerah dapat memanfaatkan momentum itu untuk menggelar kegiatan reflektif seperti doa bersama, napak tilas sejarah, atau pementasan kisah perjuangan Ronggosukowati, dan Para Pahlawan lainnya, Dengan begitu, peringatan hari jadi Pamekasan tidak hanya menjadi ajang hiburan, tetapi juga media edukasi dan spiritualitas kebangsaan.


Sudah saatnya Mekkasen menata ulang cara pandang terhadap perayaan ulang tahunnya. Peringatan hari jadi ke 495 Pamekasan, di Makam para pahlawan akan menegaskan bahwa Pamekasan menghormati sejarahnya, menghargai leluhurnya, dan tidak ingin tercerabut dari akar budaya yang telah membentuk identitasnya.


Karena sejatinya, sebuah daerah yang besar bukan hanya yang memiliki gedung megah dan pesta meriah, tetapi yang mampu meneladani perjuangan pendahulunya. Dan  semangat itu masih hidup, menunggu untuk kembali dibangkitkan dalam setiap peringatan hari jadi Pamekasan.


Menghidupkan Nilai Sejarah yang Mulai Terlupakan 


Makam Ronggosukowati, Makam Pahlawan, Asta Bagandan, Pasarian Bujuk Bulengan, Pujuk Rabeh, Pujuk Lendduh, Wisata Religi sepeti Batu Ampar, Astah Pujuk Abdul Qidam dan lainnya, itu semua bukan sekadar tempat peristirahatan terakhir seorang raja dan para pahlawan tetapi juga pusat nilai dan peradaban lokal. Dari tempat inilah dulu lahir semangat kepemimpinan, keberanian, dan kearifan lokal yang menjadi karakter orang Pamekasan. Sayangnya, nilai-nilai itu kini mulai pudar tergeser oleh gemerlap modernisasi yang sering kali melupakan akar budaya. Dengan menjadikan makam Ronggosukowati sebagai akhir peringatan hari jadi, pemerintah sekaligus mengirim pesan moral kepada masyarakat: bahwa kemajuan tidak boleh menghapus jejak sejarah.


Selain itu, momentum hari jadi Pamekasan juga dapat dijadikan ajang edukatif. Pemerintah daerah bisa menggelar ziarah kebangsaan, pameran sejarah, lomba karya tulis tentang Ronggosukowati dan para pahkawan lainnya, hingga pentas seni budaya lokal. Dengan begitu, masyarakat tidak hanya merayakan ulang tahun daerah secara seremonial, tetapi juga mendapatkan pelajaran tentang asal-usul dan nilai luhur yang membentuk jati diri Pamekasan.


Jika kita menelusuri lembar sejarah, Pamekasan memiliki tokoh besar seperti Ronggosukowati, raja bijaksana yang menjadi simbol keadilan dan kebijaksanaan lokal. Namun ironisnya, hanya segelintir masyarakat, terutama generasi muda, yang benar-benar mengenal sosok ini. Nama Ronggosukowati, Pangran Diponegoro, Pangeran Djoemeno, memang masih diabadikan menjadi nama jalan, stadion, dan alun-alun, tetapi nilai perjuangan, filosofi kepemimpinan, dan keteladanan beliau hampir tak pernah dibicarakan secara mendalam. Nilai sejarah ini perlahan tertimbun oleh rutinitas modern, hiburan digital, dan orientasi hidup yang semakin materialistik.


Menghidupkan nilai sejarah bukan berarti kembali ke masa lalu, melainkan membangun masa depan dengan pijakan yang kokoh. Pamekasan memiliki modal besar berupa budaya, tokoh besar, dan situs bersejarah yang bisa dijadikan sumber inspirasi bagi pembangunan karakter bangsa. Jika nilai-nilai itu terus dijaga dan dihidupkan, maka Pamekasan bukan hanya menjadi kabupaten yang religius, tetapi juga daerah yang berkarakter, berbudaya, dan beridentitas kuat.


Sebagaimana pepatah Madura berkata, "Mon tak eghat sejarah, tak eghat pangngabbi’" , jika seseorang melupakan sejarah, ia akan kehilangan arah hidupnya. Maka, sudah saatnya Pamekasan menengok kembali akar sejarahnya, menghidupkan kembali nilai-nilai luhur para leluhur, dan menanamkannya pada generasi penerus agar cahaya peradaban tidak padam di tanah yang penuh berkah ini.


Ketika nilai sejarah dilupakan, maka identitas suatu daerah pun kehilangan arah. Generasi yang tidak mengenal masa lalunya ibarat pohon tanpa akar mudah tumbang oleh perubahan zaman. Hal ini tampak dari mulai lunturnya kebanggaan terhadap budaya lokal, hilangnya minat generasi muda terhadap situs sejarah, dan rendahnya apresiasi terhadap peninggalan masa lalu.


Mengenalkan Destinasi Wisata Sejarah Pamekasan


Selama hampir lima abad perjalanan sejarahnya, Pamekasan telah melewati berbagai fase penting, dari masa kerajaan, penjajahan, hingga era kemerdekaan dan pembangunan modern. Setiap periode itu meninggalkan jejak sejarah yang sarat makna, baik berupa situs fisik maupun nilai budaya yang melekat di masyarakat. Sayangnya, banyak dari jejak sejarah itu kini terlupakan, terabaikan, bahkan nyaris tidak dikenali oleh generasi muda Pamekasan sendiri.


Menariknya, gagasan ini tidak hanya bernilai historis, tetapi juga strategis dari sisi pengembangan pariwisata budaya dan religi. Makam Ronggosukowati memiliki potensi besar sebagai destinasi wisata sejarah, namun belum tergarap maksimal. Perayaan HUT di sana akan menciptakan daya tarik baru bagi wisatawan lokal maupun luar daerah. Media akan menyorot lokasi bersejarah tersebut, sehingga namanya semakin dikenal luas. Dampaknya tentu positif bagi ekonomi masyarakat sekitar yang dapat membuka peluang usaha baru seperti kuliner tradisional, suvenir, dan jasa pemandu wisata.


Faktanya, Pamekasan memiliki banyak situs bersejarah yang seharusnya bisa dijadikan sumber kebanggaan dan pembelajaran, seperti Makam Ronggosukowati, Benteng Pamekasan, Masjid Jami’ Al-Manar Lawangan Daya, serta berbagai peninggalan kerajaan Madura tempo dulu. Namun, sebagian besar tempat itu belum dikelola secara optimal sebagai ruang edukasi publik. Kunjungan ke situs sejarah sering hanya bersifat ritual atau formal, bukan reflektif dan edukatif.


Selain itu, Pamekasan juga memiliki Kraton Lawangan Daya, Makam Pangeran Ronggo Djoemeno, dan peninggalan kolonial yang mencerminkan interaksi sosial-politik masyarakat Madura tempo dulu. Bila pemerintah daerah menjadikan momentum HUT ini untuk melakukan tur sejarah, pameran arsip, atau festival budaya di situs-situs tersebut, tentu akan muncul rasa bangga dan keterikatan emosional masyarakat terhadap sejarah daerahnya.


Mengenalkan destinasi wisata sejarah bukan hanya tentang mengundang wisatawan, tetapi juga membangun kesadaran sejarah masyarakat lokal. Generasi muda perlu tahu bahwa Pamekasan tidak lahir begitu saja, melainkan tumbuh dari perjuangan, doa, dan kebijaksanaan para leluhur. Di era digital seperti sekarang, upaya promosi bisa dilakukan lebih menarik, melalui konten visual, film dokumenter pendek, hingga narasi sejarah kreatif di media sosial.


Pemerintah daerah bersama komunitas sejarah, budayawan, dan insan media perlu bersinergi menciptakan program “Jelajah Sejarah Pamekasan” atau “Wisata Edukasi Leluhur Ronggosukowati” yang bisa menjadi agenda rutin setiap peringatan HUT. Dengan cara ini, perayaan ulang tahun kabupaten tidak hanya menjadi ajang hiburan, tapi juga menjadi ruang edukasi dan pelestarian nilai-nilai budaya lokal.


Padahal, jika digarap dengan visi yang jelas, situs-situs sejarah itu bisa menjadi pusat pembelajaran dan wisata budaya. Pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan komunitas budaya seharusnya bersinergi untuk menghadirkan kembali nilai-nilai sejarah itu dalam bentuk kegiatan nyata seperti seminar sejarah lokal, festival budaya tradisional, lomba penulisan kisah sejarah Madura, hingga kegiatan ziarah edukatif yang memberi pemahaman mendalam, bukan sekadar seremoni.


Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kabupaten Pamekasan yang ke-495 bukan sekadar momentum seremonial untuk berpesta dan menampilkan hiburan rakyat. Lebih dari itu, momen bersejarah ini seharusnya menjadi refleksi dan ajakan bersama untuk menggali kembali nilai-nilai luhur yang menjadi akar identitas daerah. Salah satu cara paling bermakna untuk merayakan hari jadi ini adalah dengan mengenalkan dan menghidupkan kembali destinasi wisata sejarah Pamekasan.


Kritik terhadap Pola Seremonial yang Monoton HUT Pamekasan


Selama ini, peringatan HUT Pamekasan cenderung bersifat formal dan berulang, upacara, pawai, serta hiburan rakyat di alun-alun. Meski tidak salah, pola tersebut terasa monoton dan kehilangan ruh sejarah. Momentum besar seperti hari jadi daerah seharusnya menjadi ruang refleksi, bukan sekadar pesta seremonial. Mengembalikan perayaan ke tempat yang memiliki makna historis seperti makam Ronggosukowati adalah langkah strategis untuk menyambung masa lalu dengan masa kini, serta menumbuhkan rasa bangga dan hormat terhadap leluhur yang telah membangun peradaban ini.


Sebab, Pemerintah daerah memiliki peran strategis dalam membangkitkan kesadaran sejarah ini. Tidak cukup hanya dengan memasang spanduk bertema sejarah setiap peringatan HUT Kabupaten Pamekasan ke 495. Dibutuhkan kebijakan tentang kebudayaan yang berkelanjutan, seperti revitalisasi situs bersejarah, pembangunan museum modern yang interaktif, dan pelibatan generasi muda dalam kegiatan budaya , Namun, tanggung jawab ini tidak hanya di pundak pemerintah.


Masyarakat juga harus memiliki kesadaran kolektif untuk menjaga dan mencintai sejarahnya. Orang tua dapat mulai mengenalkan kisah tokoh-tokoh lokal kepada anak-anak, guru dapat memperkaya pelajaran dengan konteks sejarah daerah, dan media lokal dapat mengangkat narasi sejarah secara kreatif dan inspiratif.


Setiap tahun, Kabupaten Pamekasan merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) dengan beragam kegiatan yang disebut-sebut sebagai bentuk kebanggaan dan rasa syukur atas perjalanan panjang daerah ini. Namun, di balik gemerlap panggung hiburan, pawai budaya, dan lomba-lomba seremonial yang itu-itu saja, muncul pertanyaan kritis: apakah peringatan HUT Pamekasan benar-benar membawa makna yang mendalam bagi masyarakat, atau sekadar rutinitas seremonial yang kehilangan ruhnya?


Namun sayangnya, hal-hal tersebut jarang disentuh secara mendalam , Kritik ini bukan berarti menolak perayaan. Justru sebaliknya, ini adalah dorongan agar pemerintah daerah bersama seluruh elemen masyarakat berani berinovasi. Mengapa tidak membuat peringatan HUT yang lebih tematik, misalnya “HUT Pamekasan: Menghidupkan Nilai Sejarah dan Budaya Lokal”? Mengapa tidak menggelar kegiatan di tempat bersejarah seperti Makam Ronggosukowati, atau menampilkan pementasan teater sejarah perjuangan Pamekasan yang melibatkan pelajar dan seniman lokal?


Pola seremonial yang monoton hanya menghasilkan pesta tanpa makna. Sementara, masyarakat butuh perayaan yang menyentuh sisi emosional, spiritual, dan intelektual mereka. HUT bukan sekadar pesta rakyat, tetapi seharusnya menjadi ruang untuk memperkuat identitas daerah, menanamkan nilai-nilai sejarah, serta menumbuhkan kebanggaan yang sejati terhadap Pamekasan.


Pamekasan tidak kekurangan potensi, tetapi yang dibutuhkan adalah keberanian untuk keluar dari kebiasaan lama. Sudah saatnya HUT Pamekasan bukan hanya menjadi ajang seremonial tahunan, melainkan momentum untuk menegaskan arah pembangunan berbasis budaya dan sejarah. Karena tanpa perubahan paradigma, perayaan HUT hanya akan menjadi panggung rutin, meriah di luar, hampa di dalam.


Menanamkan Kesadaran Generasi Muda Tentang Sejarah Pamekasan


Generasi muda hari ini hidup di tengah arus modernisasi yang begitu cepat. Dunia digital, media sosial, dan budaya instan kian mendominasi ruang pikir dan perilaku mereka. Dalam situasi seperti ini, sering kali nilai-nilai sejarah dan identitas daerah mulai memudar. Di Pamekasan, kondisi ini terasa nyata, banyak anak muda yang tidak lagi mengenal tokoh-tokoh perjuangan daerahnya, apalagi memahami makna di balik sejarah yang membentuk jati diri kabupaten ini.


Sejarah bukan sekadar catatan masa lalu. Ia adalah fondasi bagi terbentuknya karakter dan kebanggaan suatu daerah. Pamekasan memiliki sejarah panjang yang sarat nilai perjuangan, keberanian, dan keagamaan. Dari kisah perjuangan Ronggosukowati melawan penjajahan, hingga peran pesantren yang menjadi benteng moral dan spiritual masyarakat Madura. Semua itu adalah warisan yang seharusnya dikenalkan dan ditanamkan sejak dini kepada generasi penerus Pamekasan.


Sayangnya, kesadaran sejarah sering kali diabaikan, bahkan di lingkungan pendidikan. Pembelajaran sejarah lokal di sekolah hanya disinggung sekilas, tanpa pendekatan yang menarik atau kontekstual. Padahal, jika disajikan dengan metode yang kreatif; seperti pementasan drama sejarah, kunjungan ke situs bersejarah, atau lomba esai dan vlog sejarah daerah, nilai-nilai masa lalu itu bisa hidup kembali dalam benak anak muda.


Pemerintah daerah, lembaga pendidikan, komunitas budaya dan media perlu berkolaborasi lebih aktif. HUT Pamekasan, misalnya, bisa dijadikan momentum strategis untuk membangkitkan kesadaran sejarah.

Bukan hanya sekadar pesta seremonial, tetapi juga wadah edukasi sejarah yang menyenangkan dan inspiratif. Kegiatan seperti napak tilas perjuangan tokoh lokal, seminar sejarah Pamekasan, atau festival budaya berbasis narasi sejarah bisa menjadi langkah konkret.


Kesadaran sejarah akan melahirkan kebanggaan dan tanggung jawab. Generasi muda yang memahami asal-usul daerahnya tidak akan mudah hanyut dalam arus globalisasi yang mengikis identitas. Mereka akan tumbuh sebagai generasi yang mencintai tanah kelahirannya, menjaga warisan leluhur, dan berkontribusi bagi masa depan Pamekasan dengan cara yang bermartabat.


Sudah saatnya sejarah Pamekasan tidak hanya tersimpan di buku atau batu nisan, tetapi hidup di hati generasi mudanya. Karena bangsa dan daerah yang besar adalah mereka yang tidak melupakan asal-usulnya.


Generasi muda perlu disadarkan bahwa sejarah bukan hanya cerita lama, melainkan fondasi moral dan identitas yang harus dijaga. Dengan mengenalkan sosok Ronggosukowati secara kontekstual dalam momen HUT Panekasan ke 495, mereka akan memahami bahwa kemajuan Pamekasan hari ini adalah hasil dari perjuangan panjang para pendahulu. Kesadaran ini penting agar semangat membangun daerah tidak hanya bersandar pada kepentingan politik sesaat, tetapi juga dilandasi nilai kejujuran, tanggung jawab, dan pengabdian sebagaimana dicontohkan oleh tokoh besar masa lalu.


Sering kali kita salah memahami kemajuan. Banyak yang menganggap bahwa menjadi modern berarti meninggalkan tradisi. Padahal, kemajuan sejati justru lahir dari kemampuan masyarakat untuk beradaptasi tanpa kehilangan jati diri. Jepang dan Korea Selatan bisa menjadi bangsa modern karena mereka tetap menjunjung tinggi nilai sejarah dan budaya mereka. Begitu pula seharusnya dengan Pamekasan: modern, tapi tetap berakar.


Dengan menghidupkan kembali nilai sejarah, Pamekasan tidak hanya menjaga warisan leluhur, tetapi juga membentuk karakter generasi muda yang berwawasan sejarah, beridentitas kuat, dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap daerahnya. Nilai-nilai seperti kejujuran, gotong royong, keberanian, dan kepemimpinan yang diwariskan para pendahulu harus dihidupkan kembali dalam setiap aspek kehidupan, baik pendidikan, pemerintahan, maupun sosial kemasyarakatan.


Inilah makna sejati sebuah peringatan hari jadi: bukan sekadar merayakan, tetapi juga mengenang dan melanjutkan warisan sejarah.


Divisi Pemantau Kebijakan Publik Komunitas Jurnalis Jawa Timur (KJJT) Wilayah Pamekasan. (Alex)